Kasus kematian Suchir Balaji, mantan peneliti OpenAI yang juga dikenal sebagai whistleblower, semakin menjadi misteri. Pada November 2024, pria berusia 26 tahun itu ditemukan tewas di apartemennya di San Francisco, dengan luka tembak yang diduga berasal dari senjatanya sendiri.
Polisi setempat menyatakan bahwa kematiannya merupakan kasus bunuh diri, berdasarkan hasil autopsi. Namun, keluarga Balaji, terutama ibunya, Poornima Rao, meyakini bahwa ada konspirasi besar di balik kejadian ini.
Mereka menduga bahwa kematian Suchir terkait erat dengan perannya dalam membongkar rahasia industri AI, terutama terkait kebijakan OpenAI dalam pengelolaan teknologi canggihnya.
Dalam wawancara dengan Brian Entin dari News Nation, keluarga Balaji mengungkapkan bahwa mereka pertama kali merasa adanya ancaman terhadap anak mereka setelah ia muncul dalam artikel New York Times tahun lalu. Dalam artikel tersebut, Suchir secara terbuka mengkritik kebijakan hak cipta OpenAI, yang menurutnya memiliki banyak kejanggalan.
Poornima mengaku merasakan firasat buruk begitu melihat artikel itu terbit. “Saat saya membaca artikel tersebut, saya tahu ada sesuatu yang salah. Sebagai seorang ibu, saya bisa merasakan bahaya,” ujarnya. Namun, setiap kali ia menghubungi anaknya, Suchir selalu menenangkan dirinya, mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.
Dugaan bahwa ada yang tidak beres semakin kuat ketika diketahui bahwa Suchir sempat membeli senjata api satu tahun sebelum kematiannya. Ayahnya, Ramamurthy, menegaskan bahwa putranya membeli senjata bukan untuk bunuh diri, melainkan untuk melindungi dirinya dari ancaman yang dirasakan. Namun ironisnya, senjata tersebut justru digunakan dalam kematiannya.
Grok juga mengomentari tokoh-tokoh dunia lain. Misalnya, ketika diminta menilai kemungkinan Donald Trump menjadi “aset Rusia,” Grok memperkirakan ada kemungkinan 75-85% berdasarkan pola perilaku dan sejarah hubungan politiknya.
Selain itu, AI ini juga menyebut tokoh lain seperti Vladimir Putin, Robert F. Kennedy, Jair Bolsonaro, Recep Tayyip Erdoğan, dan Boris Johnson sebagai penyebar misinformasi terkemuka. Penilaian ini memicu reaksi luas di kalangan pengguna, khususnya pendukung tokoh-tokoh tersebut.